Delegasi Faperta UnpadDr. Rahmat Budiarto, SP., M.Si. (dua dari kananduduk bersama masyarakat untuk berdiskusi teknologi hidroponik untuk ketahanan pangan

Desa Jatiroke, Kecamatan Jatinangor, Kabupaten Sumedang merupakan salah satu wilayah dengan profil mata pencaharian sebagian besar masyarakatnya sebagai petani. Seiring dengan meningkatnya pembangunan, keterbatasan lahan pertanian mulai menjadi ancaman pengembangan pertanian masyarakat Jatiroke.  Pengetahuan masyarakat dalam menyiasati keterbatasan lahan guna tetap produktif menghasilkan bahan pangan perlu ditingkatkan. Ketersediaan bahan pangan di tingkat lokal desa merupakan salah satu aspek penting dalam program ketahanan pangan desa. Kondisi paska pandemi Covid-19 merangsang adanya bentuk adaptasi tingkat desa dalam hal penyediaan bahan pangan yang inovatif sebagai nilai tambah masyarakatnya. Pemerintah Desa Jatiroke, dalam hal ini diisiasi oleh Kepala Desa Jatiroke, berkerja sama dengan Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran menyelenggarakan diskusi dan pelatihan peningkatan kapasitas ketahanan pangan melalui diseminasi teknologi hidroponik. Pelatihan tersebut di laksanakan pada hari Rabu, 28 Desember 2022 di Aula Desa Jatiroke Kecamatan Jatinangor, dengan narasumber Dr. Rahmat Budiarto, SP., M.Si. yang merupakan seorang staf dosen Faperta Unpad.

Teknologi hidroponik dikenalkan sebagai solusi budidaya tanaman yang kini tengah digrandungi petani milenial, memiliki citra yang baik karena identik dengan gaya hidup modern dan dapat diterapkan di lahan terbatas, dengan menggunakan media tumbuh air maupun media non tanah, seperti arang sekam dan cocopeat. Hidroponik umumnya digunakan untuk tanaman sayuran daun, seperti selada, seledri, dan bayam. Namun dapat pula dikembangkan untuk tanaman buah dan sayuran buah, seperti melon, tomat dan mentimun. Sama seperti budidaya tanaman pada umumnya, budidaya secara hidroponik tetap mengacu pada 5 aspek sebagai kebutuhan utama tanaman yakni cahaya, oksigen, air, nutrisi, dan penyangga (buffer). Dalam sistem hidroponik cahaya dan oksigen didapatkan dari lingkungan tumbuh sekitar, sedangkan air, nutrisi dan penyangga perlu disediakan oleh petani. Air dan nutrisi umumnya disediakan dengan teknik fertigasi, menggunakan larutan AB-mix ke dalam wadah tumbuh tanaman. Penyangga disediakan dalam bentuk net pot dan pipa untuk kasus budidaya sayuran, sedangkan kasus budidaya buah memerlukan penyangga dalam bentuk media non tanah dan ajir.

Pada praktiknya, budidaya secara hidroponik sudah banyak mengalami perkembangan, dan kini dapat ditemukan dengan model yang beragam, seperti NFT, DFT, Aeroponik, hingga Aquaponik.  NFT, atau singkatan dari Nutrient Film Technique merupakan budidaya hidroponik dengan menggunakan lapisan air tipis (3 mm) dengan keunggulan berupa hemat air dan hemat pupuk, serta cocok untuk tanaman sayuran bernilai ekonomis tinggi, seperti selada salad dan seledri (Gambar 2). DFT merupakan singkatan d ari Deep Floating Technique merupakan budidaya hidroponik dengan menggunakan lapisan air tebal, sehingga seluruh akar tanaman terendam larutan nutrisi. Aeroponik merupakan teknik budidaya hidroponik dengan menggunakan media udara kabut, sedangkan Aquaponik adalah penggabungan dari hidroponik dengan aquakultur, seperti teknik Budikdamber (Budidaya Ikan dalam Ember) yang cukup populer dewasa ini, melibatkan ikan lele dan sayuran kangkung dan bayam.

Contoh budidaya tanaman selada (atas) dan seledri (bawah) menggunakan sistem nutrient film technique (NFT)

Pelatihan disampaikan secara santai namun tetap serius, sehingga para peserta tidak merasa jenuh dan aktif berdiskusi, Kegiatan ini dilaksanakan bernuansa kekeluargaan, menjadikan peserta mudah mengerti sehingga dapat menambah wawasan pengetahuan dan wawasan dalam hal bertani secara hidroponik. Sebagian warga Desa Jatiroke telah menginisiasi budidaya tanaman secara hidroponik, contohnya Ceu Ika.  Salah satu peserta pelatihan yang antusias berdiskusi seputar hidroponik. Beliau menemukan kendala keseragaman pertumbuhan dan hasil panen.

Rahmat mengutarakan “dugaan bahwa bisa saja berhubungan dengan ketepatan teknik hidroponik dan konsentrasi pupuk yang digunakan. Dilihat dari instalasinya, hidroponik milik Ceu Ika lebih cocok dengan teknik NFT, sedangkan penerapan sebelumnya menggunakan DFT. Kegiatan diskusi bersama ini mampu menambah wawasa sehingga Ceu Ika bergerak untuk mengkoreksi teknik budidayanya menjadi NFT.”  

Dr. Rahmat Budiarto, SP., M.Si    juga memberikan tips bahwa pembuatan pipa hidroponik NFT juga tidak perlu terlalu panjang, karena dikawatirkan tanaman yang tumbuh paling jauh dari  saluran air masuk mengalami perlambatan pertumbuhan sehingga hasil panennya tidak seragam.

Pemerintah Desa Jatiroke, dalam hal ini diwakili oleh Kepala Desa Jatiroke,  Ulan Ruslan.S.IP, memberikan kesan yang positif terhadap kegiatan ini, “Kami merasa senang dan antusias untuk bertani secara hidroponik. Kami berharap dari pelatihan ini dapat meningkatkan wawasan masyarakat terkait dengan teknologi hidroponik guna peningkatan kualitas, kuantitas dan kontinyuitas hasil panen. Semoga teknologi hidroponik ini dapat diterapkan mulai dari skala rumah tangga”. (agus)

id_IDIndonesian